Wednesday, May 18, 2011

Masyarakat Flores

2.1.  ASAL-USUL ORANG FLORES
            Pulau Flores merupakan salah satu pulau dari kelompok wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur. Penduduknya pada umumnya merupkan kumpulan dari beberapa suku bangsa yang tentunya memiliki perbedaan antara suku yang satu dengan yang lainnya. Nama Pulau Flores sendiri berasal dari Bahasa Portugis “Copa de Flores” yang berarti “ Tanjung Bunga”. Nama ini diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores sudah dipakai hampir empat abad. Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular. Penelitian mengungkapkan bahwa, ada sedikitnya delapan sub-suku-bangsa yang memiliki logat-logat dan bahasa yang berbeda-beda. Delapan suku yang terdapat di Pulau Flores antara lain :
1.      Orang Manggarai
2.      Orang Riung
3.      Orang Ngada
4.      Orang Nage-Keo
5.      Orang Ende
6.      Orang Lio
7.      Orang Sikka
8.      Orang Larantuka
Perbedaan kebudayaan antara sub-suku-bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio dan Sikka tidaklah amat besar. Tetapi, Perbedaan antara kelompok sub-suku-bangsa tersebut dengan orang Manggarai termasuk besar. Seperti halnya dari segi bentuk fisik, ada satu perbedaan yang mencolok. Penduduk Flores mulai dari orang-orang Riung makin ke Timur menunjukkan lebih banyak cirri-ciri Melanesia, seperti penduduk Papua, sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu. Adapun sub-suku-bangsa Larantuka berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka lebih tercampur dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku-bangsa Indonesia yang dating dan bercampur di kota Larantuka.
2.2. BAHASA
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik di propinsi Nusa Tenggara Timur, diperkirakan terdapat tujuh kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa-bahasa Flores Barat, Flores Timur, Sumba, Timor Barat, Timor Timur, Pantara, dan Alor. Dalam pada itu, berdasarkan hasil penghimpunan berkas isoglos dan perhitungan dialektometri di NTT, diperkirakan terdapat lima kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa-bahasa Flores-Sumba, Timor Barat, Timor timur, Pantar, dan Alor. Interpretasi yang dapat ditarik dari perbedaan hasil pengelompokan bahasa antara historis komparatif dan dialektologi kemungkinan besar karena sifat dasar dari pendekatannya. Linguistik historis komparatif cenderung mengarah pada diakronis, sedangkan dialektologi cenderung mengarah pada kondisi bahasa secara sinkronis.  
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik juga kita dapat membagi beberapa unsur bahasa daerah di Flores yang didasarkan pada perbedaan tiap-tiap suku. Masing-masing suku ini memiliki berbagai macam bahasa dan cara-cara pelafalannya. Secara umum bahasa tersebut berasal dari bahasa Melayu yang turut berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang dihuni oleh suku-suku tersebut. Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya. Maka tidak heran apabila bahasa Manggarai juga memiliki bahasa yang lebih khas terlepas dari cirri-ciri fisiknya yang berbeda dari orang-orang suku lain yang berada di Flores. Selain itu, dari unsur seni seperti halnya musik, terdapat cirri khas dari masing-masing beat tropikal lagu dari masing-masing daerah seperti Larantuka, Maumere, Ende dan Bajawa.
2.3. POLA KAMPUNG DAN DESA
Desa-desa di Flores (Beo di Manggarai), dulu biasanya dibangun di atas bukit, untuk keperluan pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya merupakan satu bagian linggkaran dengan tiga bagian, yaitu depan, tengah dan belakang. Walaupun pada masa sekarang susunan kuno tersebut sering sudah tidak diperhatikan lagi, namun sisa-sisa bangunan kuno tersebut masih dapat dijumpai pada desa-desa Flores pada zaman sekarang juga.
Di Manggarai misalnya masih ada sebutan khusus untuk bagian depan dari desa ialah paang, bagian tengah ialah beo (dalam arti khusus) 192dapur, dan tempat untuk berkumpul bagi keluarga. Bagian yang kedua dan bagian belakang ialah ngaung. Dulu di tiap bagian dari rumah ada tempat-tempat keramat, yang berupa timbunan batu-batu besar dan yang dianggap tempat roh-roh penjaga desa dapat turun. Pada massa sekarang, biasanya masih ada paling sedikit satu tempat keramat serupa itu di tengah-­tengah lapangan tengah dari desa. Tempat keramat itu biasanya berupa suatu timbunan batu-batu besar yang disusun seperti piramida bertangga dengan beberapa batu pipih tersusun seperti meja di puncaknya. Seluruh timbunan itu yang disebut kota, dinaungi oleh suatu pohon waringin yang besar. Di hadapan himpunan batu itu biasanya ada bangunan balai desa Yang juga bersifat keramat dan yang disebut mbaru gendang, karena di dalamnya disimpan sebuah genderang yang keramat. Desa-desa kuno dari orang Ngada, biasanya juga mernpunyaj lapangan pusat dengan di tengah-tengahnya timbunan batu-batu berupa suatu, pang­gung dari batu yang disebut terse. Di atas panggung itu ada beberapa batu pipih yang juga disusun seperti meja, atau seperti sandaran (watu lewa). Di bagian depan dari desa-desa Ngada, seringkali ada tiang pemujaan nenek moyang dari batu (ngadhu) sedangkan di hadapan tiang batu itu biasanya ada sebuah rumah pemujaan kecil (bhaga). Desa-desa di Flores pada zaman dahulunya juga selalu dikelilingi dengan se­buah pagar dari bambu yang tingginya dua sampai tiga meter, sedangkan pagar itu seringkali dikelilingi lagi secara padat dengan tumbuh-tumbuhan belukar yang berduri.
Pada masa sekarang sudah banyak desa-desa yang dibangun di daerah tanah datar di kaki bukit. Sifatnya lebih terbuka, pagar sering tidak ada lagi, sedangkan pola perkampungan berbentuk lingkaran-­lingkaran di banyak tempat juga sudah ditinggalkan. Hal ini tentu saja mempunyai suatu keterkaitan dengan penyesuaian keadaan zaman. Uniknya lagi hal tersebut dilaksanakan secara bersama sehingga membentuk suatu bukti-bukti social. Tidak hanya desa di Pulau Flores, desa-desa di seluruh Nusantara juga mengalami berbagai penyesuaian lingkungan seiring perkembangan zaman. Solusinya, mungkin saja perubahan mampu memecahkan masalah yang terjadi. Karena, walau bagaimanapun juga, suatu sistem adat yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, akan menjadi masalah dimana hal tersebut muncul menjadi pengahambat upaya-upaya manusia dalam mempertahankan generasinya. Jadi, perubahan suatu kebiasaan juga tidak ada ruginya apabila perubahan tersebut tetap mampu menyimpan dalam-dalam nilai-nilai dari suatu kebiasaan adat masa lalu sekalipun bentuk-bentuk fakta ataupun objeknya sosialnya sudah mengalami perubahan.
2.4. SISTEM MATA PENCAHARIAN HIDUP
Mata pencaharian hidup yang utama dari orang Flores adalah ber­cocok tanam di ladang. Para warga laki-laki dari sejumlah keluarga luas biasanya beker a sama dalam hal membuka ladang di dalam hutan. Aktivitas itu terdiri dari memotong dan membersihkan belukar bawah, menebang pohon-pohon dan membakar daun-daunan, batang-batang dan cabang-cabang yang telah dipotong dan ditebang. Kemudian bagian hutan yang dibuka dengan cara tersebut dibagi antara berbagai keluarga luas, yang telah bersama-sama membuka hutan tadi. Dari atas 'sekelompok ladang-ladang serupa itu akan tampak seperti suatu jaringan sarang laba-laba. Tanaman pokok yang di­tanam di ladang-ladang adalah jagung dan padi.
Kecuali bercocok tanam di ladang, beternak juga merupakan suatu mata pencaharian yang penting di Flores pada umumnya. Binatang piaraan yang terpenting adalah kerbau. Binatang ini tidak dipiara untuk tujuan-tujuan ekonomis tetapi untuk membayar mas kawin, unfuk disem­belih dan dikonsurnsi pads upacara-upacara adat, dan untuk menjadi lambang kekayaan serta gengsi. Binatang piaraan penting lainnya adalah kuda, yang dipakai sebagai binatang tenaga memuat barang atau menghela. Di samping itu kuda juga sering dipakai sebagai harta mas kawin. Kerbau dan juga sapi dimasukkan ke dalam kandang umum dari desa dan digembala di padang-padang rumpus yang juga merupakan milik umum dari desa. Adapun kuda biasanya dibiarkan saja siang-­malam berkeliaran lepas di padang-padang rumput dari desa, hanya kalau orang membutuhkan seekor maka kuda itu ditangkap, kemudian dilepaskan lagi sesudah dipakai. Pemeliharaan babi, kambing, domba atau ayam dilakukan di pekarangan rumah atau dikolong rumah seperti halnya di daerah Manggarai.
Akhir-akhir ini mulai muncul sebuah ide agar sektor perekonomian masyarakat Flores agar tidak hanya bertumpu/berketergantungan pada  sektor pertanian dan peternakan saja. Salah satunya adalah sektor pertambangan. Sektor pertambangan ini dinilai mampu menjadi sebuah solusi tambahan bagi masyarakat Flores khususnya. Pertambangan emas merupakan sajian utama dalam proyek pertambangan di Pulau Flores. Aktivitas pertambangan sejauh ini sudah marak dilakukan di Reo, Kabupaten Manggarai. Sementara itu, di Pulau Lembata, rencana pembukaan tambang emas masih terus diupayakan investor dan Pemerintah Daerah meski masyarakat lokal menolak keras rencana tersebut.
Terlepas dari upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, upaya pembukaan pertambangan ini juga menuai pertentangan dari berbagai kalangan. Sebagai contoh, suatu pihak penentang menyatakan bahwa pertambangan dinilai bukan pilihan tepat, baik dari sisi strategi, model maupun urgensi pembangunan di Flores dan Lembata. Jika pertambangan dipaksakan sebagai pilihan strategi dan model pembangunan untuk masyarakat Flores dan Lembata yang agraris dan nelayan, itu akan menjadi hal yang kontra-produktif dan menghancurkan keberlanjutan kehidupan (sosial, ekonomi dan budaya) masyarakat. Pihak tersebut mengingatkan, Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya merupakan jalur gunung api, daerah patahan lempeng bumi (sering terjadi gempa), dengan ketersediaan air yang amat terbatas, serta topografi yang umumnya terjal dengan luas pulau yang kecil. Pertambangan, menurut mereka, tidak relevan dan koheren dengan kondisi nyata geologi, topografi pulau Flores dan Lembata, serta dengan kehidupan sosial-budaya serta ekonomi masyarakat yang berbasis pertanian, perikanan dan kelautan. Selain itu, pertambangan dinilai hanya memberikan keuntungan terutama untuk korporasi, bukan untuk masyarakat lokal. Masyarakat hanya menerima 'remah-remah' sambil mewarisi tanah dan laut yang hancur secara permanen dan tidak lagi produktif untuk tumpuan hidup mereka selanjutnya.
Melihat dari pertentangan ini, pemerintah hendaknya lebih matang dan tentu saja harus lebih transparan lagi dengan segala upaya-upaya yang diberlakukannya. Boleh jadi, pertentangan tersebut pada dasarnya berakar dari kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap segala tindak-tanduk pemerintah yang selama ini dianggap hanya menguntungkan kalangan elit saja.
2.5. SISTEM KEKERABATAN
Perkawinan yang paling umum dilakukan oleh sebagian besar dari warga masyarakat pedesaan di Manggarai adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara, pemuda dan pemudi. Kalau antara seorang pemuda dan pemudi sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, maka keluarga si pemuda melamar (cangkang) pada keluarga si gadis. Dalam hal itu keluarga si gadis biasanya akan meminta suatu mas kawin (paca) yang tinggi dengan sejumlah kerbau. dan kuda; sedangkan mereka akan juga memberi kepada keluarga si pemuda seba­gai imbalan suatu pemberian yang besar juga. Hubungan yang terjadi antara kedua keluarga seperti itu, ialah antara keluarga fihak pemuda sebagai pe­nerima gadis (anak wina) dan fihak pemudi sebagai pemberi gadis (anak rona) adalah biasanya amat formil.
Suatu perkawinan adat yang banyak terjadi terutama di antara orang bangsawan, tetapi sering juga di antara orang biasa, adalah per­kawinan yang sudah ditentukan dahulu oleh fihak orang tua. Di dalam hal mencarikan jodoh untuk anaknya orang akan selalu mencari seorang jodoh yang menurut adat merupakan perkawinan yang paling ideal bagi seorang Manggarai, ialah perkawinan dengan seorang anak wanita saudara pria ibu. Perkawinan ini disebut perkawinan tungku. Pads perkawinan tungku, biasanya tidak dibutuhkan suatu paca yang besar. Mas 'kawin itu. biasa yang diariggap sebagai syarat proforma saja. Hubungan antara anak wina dan anak rona di dalam hal ini jup bersifat amat bebas, seperti antara adik dan kakak saja.
Dalam perkawinan adat Sikka, belis merupakan hal utama dan memberi konsep sosial-budaya atas keseluruhan prosesi perkawinan. Menurut budayawan Oscar Pareira Mandalangi, belis merupakan cara orang Sikka mempererat tali persaudaraan. Belis mendorong gotong royong, sebab sesungguhnya belis dipikul oleh semua anggota keluarga laki-laki, mulai tante, om, orangtua, adik-kakak, ipar, dan seterusnya. Karena itu, perkawinan tanpa belis tidak seutuh perkawinan dengan belis. Belis pertama kali ditetapkan oleh seorang raja perempuan Kerajaan Sikka bernama Agnes Donaines Da Silva pada abad ke-17. Tujuannya untuk memberikan perlindungan kepada perempuan. Dengan belis, wanita mempunyai nilai yang tinggi. Laki-laki akan berpikir seribu kali untuk poligami karena besarnya belis yang harus dibayar. Jadi, laki-laki dituntut untuk setia, kata Mandalangi.
Meski begitu, saat ini ada persepsi keliru soal belis. Belis dianggap mahal dan menghambat perkawinan sehingga banyak anak muda Sikka yang memilih kawin dengan suku lain agar tidak perlu membayar belis. Yang lebih menyakitkan, ada yang menganggap membayar belis berarti membeli perempuan.
Suatu bentuk perkawinan lain yang juga sering dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tidak mau atau tidak mampu membayar mas kawin yang tinggi adalah kawin lari atau kawin roko. Seringkah kawin roko dilakukan dengan pengertian antara kedua belch fihak, sebagai syarat adat atau sebagai perbuatan puts-pure Untuk menutup rasa malu atau rasa canggung bagi keluarga yang tidak mampu membayar paca ting­gi: Walaupun deinikian sampai sekarang masih ads jup perkawinan roko yang tidak dilakukan sebagai perbuatan pure-pure atau untuk syarat saja, tetapi sebagai kawin lari yang sungguh-sungguh, karena - fihak keluarga si gadis tidak menyetujui perkawinwmya. Pads perkawinan roko, lamaran dilakukan sesudah si gadis dibawa lari. Dalam pada itu ada anggapan bahwa kemarahan dari fihak keluarga si gadis sudah reda dan bahwa mereka sanggup untuk menerima ucapan maaf daan sekalian menerima permintaan lamaran dari fihak keluarga si pemuda. Walaupun pada perundingan yang terjadi fihak keluarga si gadis untuk menahan harga diri, tetap minta paca yang sangat tinggi, dalam praktek hal itu toh tidak dipenuhi, karena dalam kenyataan si pemudi toh sudah hidup di antara keluarga si pemuda.
Kelompok kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling intensif sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-hari di dalam rumah tangga atau di ladang dan kebun, adalah keluarga-luas yang virilokal (kilo). Pads orang Ngada suatu keluarga-luas virilokal serupa itu disebut sipopali. Sejumlah kilo biasanya merasakan diri terikat secara patrilineal sebagai keturunan dari seorang nenek moyang kira-kira lima sampai enam generasi ke alas. Suatu klen.kecil atau minimal lineage serupa itu, di Manggarai disebut panga dan di Ngada disebut ilibhou.
Warga suatu panga atau ilibhou tidak selalu terikat oleh hubung­an kekerabatan yang nyata. Hal  itu - karena seringkali ads panga-panga atau ilibhou-ilibhou yang menjadi kecil, Wdbat kematian, menggabungkan dirt dengan panga atau ilibhou. yang lain. Suatu panga atau ilibhou dulu merupakan kesatuan dalam hal melakukan upacara-upacara berkabung atau upacara pembakaran mayat nenek moyang, atau upacara mendirikan batu tiang penghormatan roh nenek moyang., Sekarang kesatuan kekerabatan itu hampir tak.berfungsi lagi, kecuali sebagai pemberi nama kepada warga-­warganya. Panga dan ilibhou menjadi bagian dari klen-klen yang lebih besar, ialah wa'u di Manggarai dan woe di Ngada.
2.6. SISTEM KEPERCAYAAN DAN ILMU GAIB
Pada masa sekarang sebagian besar dari penduduk Flores beragama Katolik. Ada juga sebagian kecil yang beragama Kristen Protestan. Adapun di antara Prang Manggarai ada sebagian yang beragama Katolik, ialah penduduk dari dalu-dalu di bagian timur dari daerah  Manggarai, sedangkan dalu-dalu di daerah-daerah bagian utara, barat dan selatan dari Manggarai adalah beragama, Islam. Kecuali itu ada dalu-dalu, seperti Mbura dan Reo. yang mempunyai penduduk campuranyang beragama Islam dan Katolik, sedangkan penduduk dari beberapa dalu yang besar seperti Cibal, Todo dan Pongkor, sampai sekarang masih banyak yang menganut reli­gi Manggarai asli. Sebenarnya juga di antara penduduk yang secara res­mi telah menganut agama Katolik, pada hakekatnya masih banyak yang belum melepaskan  konsep-konsep dan adat-istiadat keagamaan yang asal dari religi asli tersebut.
Suatu unsur yang penting dalam religi asli dari orang Manggarai dan juga dari orang Flores pada umumnya adalah kepercayaan kepa­da ruh-ruh nenek moyang. Dalam bahasa Manggarai ruh-ruh nenek moyang itu disebut empo atau andung. Lain istilah ialah poti' berarti ruh-ruh orang meninggal pada umumnya. Ruh-ruh itu dianggap menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia, ialah dalam tiang rumah, dalam sebuah perigi, di persimpangan jalan, dalam sebuah pohon besar di halaman rumah dan sebagainya.
Suatu unsur penting dalam religi asli dari penduduk Flores ada­lah kepercayaan kepada Dewa Tertinggi. Pada orang Manggarai  tokoh dewa itu disebut Mori Karaeng, sedangkan pada orang Ngada tokoh itu disebut Deva. Dalam dongeng-dongeng mitologi orang Manggarai, Mori Karaeng itu dianggap pencipta alam dan ada dongeng-dongeng khusus mengenai caranya ia menciptakan bumi, manusia, dunia ruh, bina­tang, tumbuh-tumbuhan seperti jagung dan padi. Terlepas dari itu, terdapat juga dongeng-dongeng yang menceriterakan mengapa ia menyebabkan adanya angin, menyebabkan adanya gempa bumi, mengapa ia menghukum bulan dengan suatu  eklips bulan, dan bagaimana ia mempergunakan petir untuk menghukum para jin. Ada beberapa dongeng yang menerangkan bagaimana ia menolong manusia, yang melanggar adat, dan mereka yang berdosa karena melakukan sumbang, pembunuhan, karena menentang orang tua atau karena mengabaikan kewajiban mereka untuk melakukan upacara. Demikian kecuali pencipta alam dan penjaga adat, Mori Karaeng juga menjadi tokoh dewa yang dalam. ilmu antropologi sering disebut dewa pembawa adat atau cultural hero.
Upacara keagamaan yang asli, menurut adat Manggarai dilaku­kan oleh seorang yang disebut ata mbeko. Jabatan itu tidak didapat karena keturunan, tetapi karena belajar dari seorang ata mbeko yang sudah berpengalaman. Baik laki-laki maupun wanita bisa menjadi ata mbeko. Seorang ata mbeko, kadang-kadang diundang untuk memberi petunjuk atau melaksanakan upacara-upacara sekitar rumah tangga yang biasa berupa upacara-upacara sekitar titik dalam lingkaran hidup individu. Upacara-upacara serupa itu dimulai dengan upacara pada peristiwa hamil lima bulan (Jambat) dan berakhir dengan upacara sesudah sepasang pengantin baru tinggal untuk lima hari di rumah orang tua si isteri (upacara wega mio). Adapun upacara-upacara umum adalah upacara-upacara peresmian balai desa, upacara-upacara kesuburan tanah dan upacara-upacara yang berhubungan dengan pertanian. Kecuali untuk melakukan upacara-upacara tersebut di atas, seorang eta mbeko juga bisa diundang untuk melakukan pekerjaan dukun seperti menyembuhkan penyakit, meramalkan nasib orang, memberi kekuatan kepada orang dengan jimat atau air Sakti dan kadang­kadang juga merugikan musuh orang dengan guna-guna.
Upacara-upacara penguburan dan berkabung, merupakan upacara yang luas dan komplex pad orang Manggarai. Dalam agama asli orang per­caya bahwa jiwa, sesudah mati menjadi ruh yang untuk beberapa hari ber­keliaran di sekitar rumahnya, terutama di tempat di mana ia biasanya tidur. Lima hari sesudah kematian, ada upacara yang disebut kelas. Pads upacara kelas itu jiwa dianggap berobah menjadi ruh (poti) melepaskan segala hubungan dengan hidup di alam fana dan pergi ke alam baka, tempat Mori Karaeng. Pada upacara ini biasanya seekor hewan korban dipotong.
2.7. SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam masyarakat sub-sub-suku-bangsa di Flores yang kuno ada suatu sistem stratifikasi sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan-itu adalah keturunan dari klen-klen yang dianggap  mempunyai sifat keaslian atau sifat senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang Manggarai misalnya terdapat tiga lapisan diantaranya :
1.      Lapisan orang kraeng,
2.      Lapisan orang ata lehe
3.      Lapisan orang budak
Pada orang Ngada misalnya terdapat tiga lapisan juga seperti :
1.      Lapisan orang gae meze
2.      Lapisan orang gae kiss
3.      Lapisan orang budak (azi ana)
Lapisan kraeng. raerij. dan gae meze, adalah lapisan orang bangsawan yang secara khusus terbagi-bagi dalarn beberapa sub-lapisan, tergantung kepada sifat keaslian dari klen-klen tertentu, yang dianggap secara historis atau menurut dongeng-dongeng rnitologi, telah menduduki suatu daerah yang tertentu lebih dahulu dari klen-klen yang lain. Demikian juga warga dari klen-klen . yang berkuasa dalam dalu-dalu atau glaring-glarang pada orang Manggarai, termasuk lapisan kraeng.
Lapisan ata leke dan gae kiss adalah lapisan orang biasa, yang bukan keturunan klen-klen senior. Orang ata leke biasanya bekerja sebagai petani, tukang-tukang atau pedagang,,walau banyak dari orang bangsawan ada juga yang dalam kehidupan sehari-hari juga hanya menjadi petani saja.
Lapisan budak yang pada zaman sekarang tentu sudah tidak ada lagi. Akan tetapi pada zaman dahulu para budak diambil dari berbagai tempat dan melalui berbagai proses. Dalam hal ini proses tersebut antara lain :
1.      Orang-orang yang ditangkqp dalam peperangan, baik dari sub-suku-bangsa sendiri, maupun dari suku bangsa lain atau pulau lain
2.      Orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu ampu mem bayar kembali hutang mereka
3.      Akhirnya orang-orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi budak, karena pelanggaran adat.
Secara lahir perbedaan antara gaya hidup dari warga lapisan-lapisan sosial itu tidak ada, tetapi dalam sopan santun pergaulan antara mereka ada perbedaan, sedangkan para bangsawanpun mempunyai hak-hak tertentu dalam upacara-upacara adat.
Berbagai persoalan yang terjadi juga dapat diselesaikan dengan cara adat ataupun kebiasaan di tiap-tiap suku. Sebagai contoh, kita dapat mengambil tata cara orang Manggarai dalam menyelesaikan masalahnya melalui suatu wadah bernama Mbaru Gendang. Mbaru Gendang (rumah adat Manggarai) pada dasarnya merupakan simbol dari keselarasan hidup masyarakat setempat.  Ia menjadi inspirasi bagi terciptanya tatanan sosial yang merepresentasikan nilai kekerabatan sosial antara berbagai suku yang ada dalam masyarakat Manggarai.  Ia pun berfungsi sebagai lambang keterbukaan masyarakat setempat terhadap kehadiran orang atau suku lain. Sebagai contoh, tersedia sebuah upacara penerimaan terhadap warga luar yang menjadi warga masuk kampung/dusun melalui ritual perkawinan. Mbaru Gendang memiliki ruangan luas di mana tinggal beberapa keluarga yang dibagi dalam biliknya masing-masing, namun hanya memiliki satu dapur bersama.  Mbaru Gendang hampir bisa ditemukan di setiap desa masyarakat Manggarai.  Segala permasalahan yang ada dalam masyarakat kampung itu selalu dibicarakan dan diselesaikan di Mbaru Gendang ini dengan melibatkan Tua Golo (ketua adat untuk seluruh warga dusun).  Dengan demikian Mbaru Gendang menjadi legitimasi moral dan  sosial bagi masyarakat Manggarai yang bersifat komunal, terbuka, dan transparan.           
Pada masa sekarang pendidikan sekolah telah menyebabkan timbul­nya suatu lapisan sosial baru, yang terdiri dari orang-orang pegawai, guru, atau pendeta. Sedangkan akhir-akhir ini terdapat juga putra Flores dengan pendidikan universitas yang tergolong dari lapisan sosial yang baru itu. Di sini prinsip-prinsip stratifikasi sosial yang bersifat nasional mulai mempengaruhi stratifikasi sosial di daerah.
Melihat dampak tersebut, mungkin saja perubahan mampu memecahkan masalah yang terjadi. Karena, walau bagaimanapun juga, pendidikan zaman dahulu dengan sekarang memilki perbedaan. Apabila kita meninjau pola pendidikan zaman sekarang, tentu saja erat kaitannya dengan perkembangan zaman sekarang. Wajar saja apabila timbullah suatu lapisan masyarakat yang seolah-olah memberi gebrakan baru dalam suatu generasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mereka mungkin menganggap pola-pola pendidikan dan kebiasaan-kebiasaan yang terkandung dalam adat turut menjadi penghambat bagi perkembangan kualitas hidup mereka dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Kita selaku pengamat bukanlah sebagai pendukung atau penentang bagi suatu perubahan. Akan tetapi, hendaknya menjadi penengah diantara keduanya agar nilai-nilai yang terkandung tersebut mampu dijadikan suatu inovasi dan tentu saja menjadi solusi terbaik.  Jadi, perubahan suatu kebiasaan juga tidak ada ruginya apabila perubahan tersebut tetap mampu menyimpan dalam-dalam nilai-nilai dari suatu kebiasaan adat masa lalu sekalipun bentuk-bentuk fakta ataupun objeknya sosialnya sudah mengalami perubahan.
2.8. SISTEM PENGETAHUAN DAN KESENIAN
Pulau Flores adalah pulau utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ia dikelilingi oleh puluhan pulau-pulau kecil dari ujung barat hingga ujung timur. Pulau Flores didiami oleh hampir tiga puluh suku kecil dan besar. Setiap suku mempunyai bahasa daerah dan dialeknya masing-masing yang sangat sulit diucapkan dan dipelajari bagi para pendatang, meski bertahun-tahun telah menetap. Diantara beberapa suku-suku dominan, di bagian barat pulau menyebar orang Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung dan Nage Keo, sedangkan di bagian timur berdiam orang Ende. Terus ke timur menetap orang Lio, Sikka dan Larantuka. Sejak negeri ini merdeka, masing-masing suku yang awalnya merupakan kerajaan-kerajaan lokal itu membentuk wilayahnya menjadi pemerintahan kabupaten. Karena itu, tiap-tiap kabupaten di Flores memiliki bahasa daerah dan tradisinya masing-masing yang tak sama satu dengan lainnya.
Tak hanya itu, mayoritas masing-masing penduduk di tiap kabupaten pun memeluk agama berbeda. Suku Ngada, Riung, Naga Keo adalah mayoritas pemeluk Katolik Ortodoks. Masyarakat Ende yang pada masa Portugis hingga Belanda mendirikan Kerajaan Ende, merupakan mayoritas muslim. Sementara suku Lio, Sikka hingga Larantuka umumnya pemeluk Protestan dan Katolik.
Meski berbeda suku, bahasa daerah, tradisi bahkan agama, namun semua suku, semua wilayah, semua daerah di Flores mewarisi satu tradisi yang sama, yaitu, tradisi tenun ikat.
Kesamaan tenun ikat semua suku di Flores ditemukan pada kesamaan bahan-bahan, teknik membuat benang, teknik menenun, teknik meracik warna dan alat pembuat. Perbedaannya hanya terdapat pada variasi motif, warna dan ragam hias.
Karena itu, pada umumnya kain tenun ikat Flores yang dibuat oleh kaum wanita berbahan dasar kapas yang dipilin menjadi benang oleh penenunnya sendiri, berbenang kasar, pewarnaan benang terbuat dari racikan beberapa jenis tumbuhan khas Flores, seperti mengkudu, tarum, zopha, kemiri, ndongu, buah usuk dan lain–lain.
Motif kain tenun tiap-tiap suku di Flores berbeda dengan kekhasannya dan ragamnya masing-masing. Teknik pembuatan motif kain tenun dilakukan dengan mengikat benang-benang lungsi. Pekerjaan ini dapat berlangsung selama dua hingga tiga purnama.
Seringkali pencelupan benang yang dipilin dari kapas dilakukan satu-persatu untuk setiap bakal kain sarung, meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung.
Ketika kerajaan-kerajaan lokal di Flores masih ada, sejumlah kelompok wanita bekerja khusus sebagai pembuat kain tenun untuk kebutuhan kalangan raja-raja di istana. Jika dahulu ada pembedaan pakaian adat berdasarkan status sosial, sekarang tidak lagi. Kini kain tenun ikat Flores dibuat untuk dijual di pasar, dipakai sehari-hari dan untuk upacara adat.
Semua kain tenun ikat Flores harus ditenun dengan alat tenun yang sangat tradisonal, dililit di pinggang wanita penenun, melekat tak terpisahkan. Kapas yang telah dipilin menjadi benang oleh sang wanita penenun pun ditenun dua hingga tiga purnama saban hari menggunakan alat tenun sangat tradisional yang terdiri dari konggo, kape, fia, phoku dan sippe. Alat-alat tenun sangat tradisional yang terbuat dari kayu dan bambu itu, berpadu melilit pinggang wanita penenun dari mentari setinggi tombak hingga sore menjelang.
Tiap gerakan dua tangan terampilnya memadukan alat-alat tenun, menghadirkan alunan sentakan menggoda, tercipta nada yang seakan melafazkan jeritan kehidupan.
Meski terdapat kesamaan dalam bahan-bahan, teknik membuat benang, alat tenun, teknik menenun dan meracik warna, namun tiap wilayah di Flores mewarisi motif tenun yang beragam. Misalkan di daerah Ngada, terdapat motif tenun songket kuning emas sebagai pengganti songket benang emas. Tetapi tak seperti songket Palembang, kain tenun songket Ngada, Flores, yang ditenun dengan benang kapas ini mempunyai banyak persamaan dengan kain songket Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang tanpa benang emas dan perak layaknya songket Palembang.
Motif lain yang kerap dikreasikan masyarakat Ngada adalah motif dengan dominasi warna-warna gelap, antara lain, dengan kombinasi warna biru dan cokelat dengan garis-garis sederhana. Sedangkan suku Nage Keo menghasilkan tenunan yang menampilkan motif bintik-bintik kecil dari teknik ikat pembentuk motif flora yang dikombinasikan dengan jalur-jalur kecil berwarna putih, merah dan biru. Di kalangan masyarakat Sikka, motif kain tenun tak terlalu semarak. Umumnya didominasi warna hitam, biru tua atau biru hitam, dihiasi dengan jalur-jalur biru muda atau biru toska. Selain itu, ada hal lain yang khas dalam pakaian adat Sikka, kain tenun warna hitam atau gelap hanya dipakai oleh mereka yang telah berumur, sedangkan kaum muda memakai kain tenun berwarna terang. Kain tenun motif masyarakat Sikka bertolak belakang dengan motif tenun masyarakat Lio. Kain tenun ikat Lio, Flores tengah, bermotif ceplok seperti jelamprang pada kain batik. Selain motif ceplok, juga dihiasi motif daun, dahan, fauna dan ranting. Kain tenun ikat dari kawasan ini dibuat lebih halus, lebih semarak ragam hiasnya dari manik dan kerang. Kain tenun ikat Lio dibuat dengan latar warna cokelat tua, diberi ragam hias berwarna cokelat muda campur kuning bergaris geometris dalam bentuk flora dan fauna. Sementara kain tenun ikat Flores dari kawasan Ende, pesisir selatan Flores, menurut keterangan nenek dan beberapa sepupu perempuan saya yang memiliki keahlian menenun kain ikat, dikatakan bahwa motif kain tenun Ende, Flores, dipengaruhi oleh motif Eropa. Alasan mereka, Kerajaan Ende yang pendiriannya terkait perang di Gowa, Sulawesi, sejak masa Portugis berinteraksi dengan bangsa Eropa.
Kain tenun ikat Ende lebih banyak menggunakan warna dasar hitam, yang dipadu dengan cokelat dan merah, dengan menggunakan ragam hias motif ala Eropa. Salah satu ragam hias kain tenun Ende, Flores, yang berbeda dengan kain daerah-daerah lain adalah hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai.
Adapun motif kain tenun Ngada, Flores, mempunyai keunikan di bagian kepala berwarna biru tua dan bagian badan kain di kiri dan kanan berwarna merah. Motif ragam hiasnya terletak pada bagian tengah kain. Hiasan pinggir atas dan bawah berupa tumpal bentuk daun.
Deskripsi sederhana telah menggambarkan ragam tenun ikat Flores yang hingga kini masih dipelajari dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Warisan ini terus dilestarikan meski hingga hari ini tak terasa kehadiran dukungan pemerintah sehingga para penenunnya tetap terbelit kemiskinan dan belum mampu bersaing dalam dunia usaha. Terselip kekhawatiran, akankah di masa depan tradisi warisan nenek moyang ini masih tetap dipelajari dan dilestarikan, toh dari sisi ekonomi tak mampu bersaing dengan kain-kain modern pabrikan.
Melihat dari keadaan ini, hendaknya pemerintah lebih peka lagi dalam upaya pemberdayaan suatu warisan budaya yang sebenarnya harus dipertahankan. Apabila melihat ketekunan para penenun tersebut dalam memenenun setiap helai kain tenun, tentu saja kita berharap pemerintah mau memberikan apresiasinya. Salah satu upaya tersebut mungkin dapat terealisasi dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang selama ini muncul di media-media elektronik. Melalui program ini penenun dari Pulau Bunga ini difasilitasi pemerintah dan dunia perbankan agar mampu menjadi pelaku-pelaku industri dan perajin kecil-menengah, seraya mampu menghidupi keluarganya dari profesi mulia ini, layaknya saudara-saudara mereka di Pulau Jawa yang melestarikan batik. Jadi, marilah kita saling mendukung upaya pelestarian wariasan budaya bangsa ini.

2.9. MASALAH PEMBANGUNAN
Serupa dengan banyak daerah lain di Nusatenggara Timur, pembangunan Flores, mempunyai beberapa faktor penghambat yang amat penting, ialah: (1) Tanah dari pulau Flores, tidak subur, miskin akan sumber-sumber alam lainnya dan iklimnya amat kering; (2) Daerah Flores, kecuali mungkin bagian baratdaya, ialah Manggarai, belum lama keluar dari keadaan isolasi­nya, tertutup dari perhubungan masyarakat dan kebudayaan manusia, yang rya; (3) penduduk Flores, terdiri dari aneka-warns suku-bangsa dengan bahasa-bahasa yang berbeda-beda; (4) Sikap mental dari penduduk masih terlampau terpengaruh oleh adat-istiadat kuno yang feodal dan yang meng­hambat pembangunan.
Tanah yang kurang subur dan iklimyang terlampau kering, memang menyebabkan ekonomi Flores itu sukar untuk dibangun dengan usaha memperlipat gandakan hasil bercocok tanam. Namun taraf teknologi bercocok tanam dari penduduk masih demikian terbelakang sehingga masih perlu banyak diperbaiki. Tanpa menyebut soal mekanisasi, hampir semua alat-alat orang Flores, seperti cangkulnya, bajaknya dan lain-lain masih banyak "dapat diperbaiki. Demikian juga teknik irigasi dan cara-cara pem­buatan sawahnya, cara-cara pemupukannya dan sebagainya.
Sebaliknya, serupa dengan banyak pulau-pulau di propinsi Nusa­tenggara Timur, pulau Flores itu amat cocok sebagai daerah peternakan. Walaupun belum amat berkembang seperti di Sumba atau Timor, namun di Flores juga dapat dikembangkan usaha peternakan secara besar-besaran dengan bantuan modal atau kecakapan dari pemermtah atau swasta.
Adapun sifat aneka warna dari penduduk Flores memang me­rupakan suatu keadaan yang tidak dapat dirobah. Namun tidak dapat disangkal bahwa keadaan itu telah membawa kesukaran dan komplek­sitet terhadap perencanaan pembangunan dan keseragaman kebijaksanaan dalam hal memerintah daerah yang relatif sebenarnya hanya kecil itu. Dalam hal ini mungkin agama Katolik, kecuali untuk bagian barat dari Manggarai yang beragama Islam, menjadi faktor penyatu yang kuat. Suatu hal yang segera harus mulai dirobah adalah adat-istiadat kuno dan sikap mental feodal yang masih kuat menghinggapi care berfikir orang Flores. Pesta adat, yang seringkali bersifat pemborosan, karma pembunuhan yang dilakukan terhadap berpuluh-puluk korban, dapat disederhanakan. Dalam hal usaha penyederhanaan adat-istiadat kuno ini, agama Katolik juga dapat rnemegang peranan yang penting. Demikian juga usaha pendidikan untuk merobah sikap mental feodal dan kuno dari orang Flores menjadi sikap-mental yang lebih modern, dapat dibantu oleh gereja Katolik. Dalam hal merobah sikap mental itu antara lain pendidikan mempunyai peranan yang penting, tetapi tidak hanya pendidikan formil di sekolah-sekolah tetapi justru pendidikan, pengasuhan, penerangan dan pembinaan di luar bangku sekolah, baik di kalangan keluarga dan di gereja. Oleh karena itu, peranan spiritual hendaknya mampu memberi solusi bagi tiap-tiap pertumbuhan mental orang-orang Flores. Agar pembangunan tersebut tidak hanya secara fisik namun mental juga.
Terlepas dari hal tersebut, pemerintah kiranya dapat juga mempercepat perkembangan dari suatu sikap mental yang lebih modem dengan menye­diakan perangsang-perangsang yang dapat mendorong timbulnya unsur­-unsur sikap mental baru tadi.